SEPENGGAL-KISAH-DI-BAWAH-LANGIT-THO'IF
Hari ini aku diberi kesempatan untuk mengunjungi kota Tho'if lagi.
Seperti biasa, perasaan haru sering menghinggapi setiap kali memasuki kota ini.
Setiap sudutnya seolah berlomba membisikkan fragmen demi fragmen tentang kisah yang begitu menyayat hati. Kisah tentang takdir dakwah yang memaksa memori ini mundur melewati lorong waktu pada 14 abad yang lalu.
Pada tahun itu langit Makkah seolah larut dalam duka. Dua orang yang begitu menyayangi Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- wafat dalam waktu yang berdekatan. Sang istri yang selalu meneguhkan dan sang paman yang selalu tampil sebagai pembela.
Kepergian keduanya menorehkan luka yang mendalam pada diri Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-.
Tekanan terhadap dakwah semakin menjadi-jadi.
Penyiksaan demi penyiksaan terus dialami nabi dan para sahabat.
Dunia seolah tak menyisahkan ruang baginya, kesedihan nampak jelas dari raut wajahnya.
Hatinya seolah berbisik, "Kemana lagi aku harus pergi..?
Kemana aku harus mencari perlindungan dari gangguan kafir Quraisy..?"
Setelah melalui berbagai pertimbangan, ia memutuskan pergi sejauh 85 km ke arah selatan Makkah, jauh di balik perbukitan yang curam nan terjal. Tempat tersebut bernama Tho'if, tempat dimana bani Tsaqif tinggal.
Bersama Zaid bin Haritsah ia menaklukkan medan yang cukup sulit itu dengan berjalan kaki. Hatinya seolah berbisik, "muda-mudahan ada secercah harapan disana."
Setibanya di Tho'if, ia langsung menemui para pembesar bani Tsaqif, beliau mengutarakan maksud kedatangannya. Namun respon para pembesar bani Tsaqif diluar dugaan. Bukan sambutan hangat yang ia dapatkan, namun umpatan dan sumpah serapah yang ia terima.
"Tersobeklah tirai Ka'bah bila Sang Rabb mengutusmu",
"Apakah Tuhan tidak menemukan orang selain dirimu..?".
"Aku tidak ingin mendengarkanmu"
Kalimat-kalimat tersebut mengalir tanpa henti dari bibir para pembesar bani Tsaqif. Tak sampai disitu, penolakan itu berbuntut pengusiran. Padahal Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- tidak memaksa mereka untuk menerima dakwahnya. Dengan lembut rasulullah mengajukan sejumlah permohonan kepada mereka. Diantaranya:
“Bila kalian menolak untuk memberikan perlindungan dan masuk Islam, maka kuharap kalian tidak mengabarkan kepada Quraisy bahwa aku datang untuk meminta pertolongan.”
Namun permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh para pembesar bani Tsaqif. Mereka seolah keluar dari tabi'at bangsa arab yang sangat menghargai dan menghormati siapapun yang datang meminta perlindungan.
Mereka mengutus beberapa orang ke Makkah untuk mengabarkan perihal Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- dan maksud kedatangannya.
Karena beberapa permohonan sebelumnya ditolak, nabi -shallallahu alaihi wasallam- mengajukan permohonan terakhir.
“Bila kalian menolak, biarkan aku pergi,” pinta nabi dengan lembut.
"Pergilah kemanapun yang engkau sukai, asalkan jangan disini" jawab mereka.
Ternyata mereka tak ingin membiarkan Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- pergi begitu saja. Mereka mengerahkan anak-anak dan para budak untuk melempari rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan batu. Sebuah tindakan yang tak hanya bermakna pengusiran, namun juga sebagai bentuk penghinaan.
Lemparan demi lemparan mengenai sekujur tubuh rasulullah. Kepala beliau terluka, darah mengucur dari atas kepala hingga membasahi terompahnya.
Betapa sakitnya apa engkau rasakan wahai rasulullah....,
Betapa kasarnya perbuatan penduduk Tho'if terhadapmu. Jangankan menerima, menolak dengan baik pun mereka enggan.
Setelah berjalan sejauh tiga mil, tubuh yang kokoh itu mulai lunglai. Ia tersandar lelah dibalik tembok yang mengitari rimbunnya kebun anggur milik Utbah dan Syaibah, keduanya merupakan putra Rabi'ah, salah seorang pembesar Quraisy. Keduanya termasuk orang yang paling memusuhi Islam, namun karena melihat kondisi nabi yang cukup parah, permusuhan itu berubah menjadi iba.
Singkatnya, mereka berdiam disana hingga matahari terbenam dan malam menghamparkan tabirnya.
Malam itu juga mereka memutuskan untuk kembali ke Makkah. Ditengah keletihan yang mendera, disaat tetesan darah yang terus mengalir, ia terus memikirkan kondisi para sahabatnya yang terus mengalami siksaan di kota Makkah. Ingatan membawanya pada Khadijah dan Abu Tholib yang telah tiada.
Kini tak ada pilihan lain selain mengadukan nestapa yang teramat pahit itu kepada sang Khaliq. Dengan nafas yang tersengal, mulut sucinya berucap, "
اللَّهمَّ إليك أشكو ضَعْف قوَّتي، وقلَّة حيلتي، وهواني على النَّاس، يا أرحم الرَّاحمين، أنتَ ربُّ المستضعفين وأنت ربِّي، إلى من تَكِلُني؟ إلى بعيدٍ يتجهَّمني؟ أم إلى عدوٍّ ملَّكْتَه أمري؟ إن لم يكن بك عليَّ غضبٌ فلا أبالي، ولكنَّ عافيتك هي أوسع لي، أعوذ بنور وجهك الَّذي أشرقَتْ له الظُّلمات، وصلحَ عليه أمر الدُّنيا والآخرة مِن أن تُنْزِل بي غضبك، أو يحلَّ عليَّ سخطك، لك العُتْبَى حتَّى ترضى، ولا حول ولا قوَّة إلا بك
Kepada-Mu aku mengadukan kelemahan diriku, kekurangan daya upayaku dan kehinaanku di hadapan sesama manusia.
Ya Allah Yang Maha Pengasih dari segala yang pengasih..
Engkau adalah pelindung orang-orang yang lemah dan teraniaya. Engkau adalah pelindungku. Tuhanku, kepada siapa Engkau serahkan diriku?
Apakah kepada orang jauh yang membenciku atau kepada musuh yang menguasai diriku..?
Asal Engkau tidak murka padaku, maka aku tidak perduli semua itu. Keafiatan dan karunia-Mu lebih luas bagiku..
Aku berlindung dengan cahaya-Mu yang menerangi segala kegelapan, yang karenanya membawa kebahagiaan bagi dunia dan akhirat, daripada murka-Mu yang akan Engkau timpakan kepadaku.
Engkaulah yang berhak menegurku sehingga Engkau meridhaiku.
Tiada daya dan upaya melainkan dengan izin-Mu”*
Sahabat...
Kau dengar do'a itu ..?
Tak ada cercaan disana, beliau sama sekali tak membalas caci maki orang-orang yang mengusirnya.
Ia bahkan tak meminta agar Allah membinasakan mereka.
Bahkan saat malaikat datang menawarkan azab kepada penduduk Thoif, dengan hati yang lapang dan penuh optimis beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “(Tidak), bahkan aku berharap agar Allah azza wa jalla mengeluarkan dari shulbi mereka orang-orang yang beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”. (HR. Bukhori Muslim).
Allahu Akbar...
Sebuah pilihan sikap yang menunjukkan kebesaran jiwa.
Bahkan saat penaklukan kota Makkah, beliau sama sekali tidak menuntut balas kepada mereka yang dahulu membuatnya terusir dan harus menelan pil pahit pada peristiwa Tho'if. Dari atas tunggangannya beliau menyeru, "Pergilah... Kalian semua bebas.." Beliau memaafkan seluruh penduduk Makkah yang pernah menyakitinya disaat beliau sanggup melampiaskan dendamya.
Padahal peristiwa di Tho'if merupakan peristiwa yang terus dikenangnya sebagai masa-masa tersulit setelah peristiwa di Uhud.
Kisah seputar peristiwa di Tho'if masih panjang kawan, namun aku tidak ingin menyita waktumu. Lagi pula senja akan segera berganti malam, aku cukupkan sampai disini. Yang jelas, sepenggal kisah diatas mengajari bahwa:
1. Pengorbanan dan kesabaran adalah ruh dari sebuah perjuangan
2. Mendokan kebinasaan terhadap orang yang berlaku zhalim tak selamanya menjadi pilihan. Kita harus optimis dan memandang jauh kemana arus dakwah ini akan bermuara.
Bila generasi hari ini tidak mengaminkan dakwah kita, maka esok ada anak cucu mereka yang bisa menjadi harapan.
Apa jadinya bila Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- mengaminkan tawaran malaikat Allah untuk menimpakan akhsabain kepada penduduk Tho'if..?
Mungkin kita tidak akan pernah menyaksikan keindahan kota Tho'if yang kini dipenuhi oleh para penghafal Al-Qur'an.
3. Perlunya mendakwahi para tokoh yang menjadi panutan masyarakat tanpa melalaikan hak-hak anggota masyarakat lainnya. Hal ini terlihat dari perbuatan nabi -shallallahu alaihi wasallam- yang memprioritaskan para tokoh bani Tsaqif sebelum yang lainnya.
4. Perjalanan nabi ke Tho'if bukan untuk tujuan politik, tidak untuk mengejar jabatan atau kedudukan. Tapi semata-mata demi sebuah misi, yaitu mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, dari kesyirikan menuju tauhid.
Kita mungkin tidak keluar dari shulbi bani Tsaqif, namun kita adalah ummat yang pernah dirindukannya.
Kawan.. Pernakah kita berfikir bahwa rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- pernah menangis karena kita..
pernah terusir karena kita..
pernah terluka karena kita..
pernah tersakiti karena kita..
Iya, kita yang dulu pernah dirindukannya..
Kita yang beriman kepadanya meski tak pernah melihat raut wajahnya saat sedih, gundah, tersiksa atau bahkan terusir.
Namun...
Sudahkah kita layak untuk dirindukan..?
Andai detik ini Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bertamu kerumah kita, sudah siapkah kita menyambutnya..?
Andai detik ini Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- mengetuk pintu rumah kita, di saat sholat masih sering kita lalaikan, aurat masih sering kita umbar, sunnah masih sering kita abaikan, musik dan nyanyian masih sering kita dengarkan, maksiat masih sering kita lakukan. Apakah kita bersedia membukakan pintu untuknya..?
Andai dia dihadapanmu, apakah engkau akan menyalakan rokokmu, bermesraan dengan pacarmu, menenggak minuman keras dan memakai obat-obat terlarang..?
Simpan jawabanmu dihatimu, lalu terjemahkan dengan amalmu.
Shollallahu alaika ya Rasulallah..
_____________
*Sanad do'a diatas dinilai dho'if oleh sebagian ulama, namun para ahli siyar tetap menyebutkannya karena beberapa alasan. Diantaranya adalah karena statusnya yang tidak terlalu lemah. Wallahu a'lam.
_______________
Kota Tho'if 4 Syawwal 1437 H
ACT El-Gharantaly
Sumber :
Komentar
Posting Komentar
silahkan tulis komentar anda disini